Kamis, 20 Oktober 2011

Kisah Musisi Orang Batak Tongam Sirait

Bagi Tongam sirait, untuk menjadi seniman besar tidaklah harus hijrah ke ibu kota. Musisi sekaligus penyanyi asal Parapat yang sukses berkolaborasi dengan Viky Sianipar di album Nommensen ini mengibaratkan seniman seperti emas; walau ditaruh di dalam lumpur, akan tetap menjadi emas.
Tongam Sirait menjadi sangat populer di Pulau Jawa dan Sumatera, terlebih di ranah batak. Lagu-lagu ciptaannya di album Nommensen yang diprakarsai musisi besar Batak, Viky Sianipar, mampu terjual sekitar 50 ribu keping. Angka fantastis bagi musisi Batak yang baru eksis di album perdana.
Ketika ditemui di kediaman mertuanya di Onan Tiga Raja, Parapat, baru-baru ini, penampilan Tongam Sirait biasa saja; pakai kaos oblong ngepas. Saat itu, anaknya nomor tiga, Immanuel, yang berusia tiga setengah tahun, merengek minta dibelikan bola dan gitar mainan. ”Baru dope hutuhor bola nion alai ngaittor mabola i baen. Gitarna pe hutuhor do sian Tarutung alai iboan donganna: Baru saja kubeli bola sama dia tapi sudah pecah dibuat. Gitar yang kubeli dari Tarutung pun dibawa kawannya,” kata pria yang sempat ingin menjadi pemain sepakbola profesional, namun karena tak ’menjanjikan’ ia menekuni dunia musik yang sudah dikenalnya sejak di bangku sekolah dasar.

Tongam Sirait yang lahir di Parapat 39 tahun lalu, tidak mengetahui siapa yang mewarisi darah seni yang memeluk tubuhnya. Hanya saja, kata lelaki yang memper-istri br Pasaribu ini, kemungkinan darah seni itu mengalir dari almarhum ayahnya, yang menurut orang-orang di kampung, ayahnya bisa memainkan gitar. Begitupun, ia tak mengetahui persis jika ayahnya bisa memainkan gitar. ”Mungkin sudah menjadi talenta dari Tuhan. Talenta itu kemudian saya asah agar semakin tajam,” kata lelaki pengagum grup band asal Inggris dan Amerika, Pink Floyd dan Guns ’n Roses ini.
Kata Tongam, sejak di bangku sekolah dasar, ia sudah tak canggung bernyanyi bersama teman-teman sekolahnya. Ia juga sering tampil di gereja. Tapi sejatinya, Tongam mulai serius menekuni dunia musik ketika hijrah ke Pulau Bali tahun 1990 sampai tahun 1995. Di Pulau Dewata itu, Tongam mulai menyanyi dari hotel ke hotel. ”Sejak kecil saya sudah ikut festival nyanyi di gereja. Lalu ketika merantau ke Bali, saya mulai cari duit dengan bernyanyi dari hotel ke hotel. Tapi pernah juga jadi beach boy karena desakan ekonomi,” kata Tongam.
Apa dasar keberangkatan Tongam ke Pulau Bali? Sebab, bicara keindahan alam, Danau Toba juga tak kalah indah. ”Tamu minim berkunjung ke Danau Toba. Saya kemudian berangkat ke Bali untuk lebih mengenal geliat potensi wisata di Bali. Tapi juga untuk menambah pengalaman,” kata Tongam, sibuk membujuk anaknya, Immanuel, yang terus menangis minta dibelikan gitar. Merasa cukup lama merantau ke Bali, Tongam mencoba meraih peruntungannya ke kota metropolitan, Jakarta. Tujuannya, mencari produser yang siap mengorbitkan lagu-lagu yang telah diciptakannya sejak tahun 1997. Namun gayung belum bersambut. Kehidupan di metropolitan ternyata sangat kompetitif. Tapi Tongam tak menyerah.
Lelaki bersuara bass ini kembali mengasah talenta bermusiknya dengan tampil dari hotel ke hotel. Adalah daerah Matraman, Menteng, menjadi persinggahannya untuk mencari rupiah. “Hidup di Jakarta serba sulit. Kalau tak ada lubang dan koneksi, tipis kemungkinan menjadi sukses. Di Jakarta, orang-orang dari segala disiplin ilmu berbaur untuk mencari kesuksesan, sehingga terjadi persaingan ketat,” kata lelaki yang mahir memainkan gitar menggunakan jemari kanan dan jemari kiri.
Kata Tongam, di Jakarta, mencari hidup sebagai musisi haruslah punya pergaulan luas dan mampu memainkan beragam jenis musik. “Satu jam tampil, saya cuma dibayar Rp25 ribu. Itupun harus bisa memainkan segala jenis musik, mulai jazz, rock, blues, sampai dangdut. Jika tak bisa kita akan terlempar dari persaingan,” ujar Tongam. Hingga di penghujung tahun 2000, kehidupan Tongam masih belum berubah. Talenta bermusiknya masih ia tularkan sebatas tampil si sejumlah hotel di bilangan Jakarta. Cita-citanya menjadi musisi sukses masih seperti menggamit bintang.
Bertemu Viky di Parapat
Tahun 2001 menjadi tahun yang kelam bagi Tongam. Ibunya meninggal dunia di Parapat. Tongam pun pulang kampung. Tapi di sini jugalah lelaki berkulit hitam ini meraih peruntungan karena secara tak sengaja dipertemukan dengan Viky Sianipar di Hotel Inna Parapat. Sebelumnya, kata Tongam, ia tak pernah bermimpi, kelak akan berkolaborasi dengan musisi besar sekelas Viky Sianipar. Apalagi sampai membayangkan, lagu-lagu yang diciptakannya sejak tahun 1997 itu, bisa masuk dapur rekaman, dan kemudian menggelambungkan namanya seperti artis-artis Batak yang sukses meniti karir di ibu kota.
Kiprah Viky di jalur musik sendiri pun hampir tak pernah diketahui Tongam. Nah, pada saat itulah, melalui jasa seorang teman yang dikenalnya di Jakarta, meminta Tongam datang ke hotel tempat Viky menginap. Viky sendiri datang ke Parapat bersama ayahnya untuk mempersiapkan album barunya, Lake Toba. “Aku pun datang dan bertemu dengan ayah Viky Sianipar. Ayah Viky bilang: Ate makkarang lagu inna ho poang. Baenma jo poang lagumi asa hubege: katanya kau pengarang lagu. Coba mainkan dulu lagumu itu biar kudengar,” kenang Tongam.
Tongam unjuk gigi. Dibawakannya lagu berlirik bule ciptaannya berjudul Come To Lake Toba di hadapan Viky. Come To Lake Toba sendiri bercerita tentang kecintaan Tongam kepada Danau Toba. Kontan Viky tertarik dan memintanya untuk datang ke Jakarta. Tapi, permintaan Viky tidak langsung disanggupi. Pasalnya, Tongam sempat berjanji tidak akan merantau lagi ke Jakarta. Sebab hidup di Jakarta, kata Tongam, sangatlah sulit. “Kalau kita tak punya relasi dan potensi jangan pergi ke Jakarta. Hanya menghabiskan energi. Lebih baik di kampung. Tapi saya yakin, walau tinggal di kampung, masih ada hari esok untuk bisa mencapai cita-cita,” tukasnya yakin. Tapi, tiga bulan kemudian setelah bertemu Viky, Tongam berubah pikiran. Keinginannya untuk bisa sukses semakin besar. Ia akhirnya kembali ke Jakarta.
Di Jakarta ia menemui Viky dan mulai menyamakan langkah dengan Viky; mempelajari dan mengenalkan musik etnik ke semua kalangan seperti cita-cita Viky. “Gayung bersambut. Pemikiran Viky sama dengan pemikiran saya. Viky datang dari etnik musik yang ketika itu belum sepopuler sekarang. Kalau di dunia barat, etnik musik pertamakali dikenalkan Peter Gabriel dan Phill Collins, vocalis Genesis. Tapi selain itu, etnik musik sudah dimainkan oleh musisi-musisi dari pesisir seperti Kuba dan Meksiko,” terang lelaki yang tetap bersedia tampil di acara seremonial di sejumlah daerah seperti Balige, Tarutung, Dolok Sanggul, dan Pematangsiantar.
Sosok Viky, kata Tongam, adalah seorang pioner di bidangnya. Viky sangat mencintai musik Batak. Sulit kata Tongam mencari sosok Viky di era digital sekarang ini. “Sekarang, di kalangan high class ada kebosanan dengan musik-musik yang kita dengar seperti saat ini yang berbau digital. Sehingga ada peralihan ke etnik musik. Hanya saja, sangat saya sayangkan, bahwa kebanyakan pemegang saham di dapur rekaman hanya semata melihat pasar dari segi bisnisnya saja. Tidak mengangkat potensi dari khasanah budaya. Nah, Viky berangkat dari situ,” ungkapnya.
Kecintaan Tongam Kepada Danau Toba
Lagu Come To Lake Toba adalah salah satu bukti kecintaan Tongam kepada Danau Toba. Kecintaannya itu diartikan Tongam, melebihi makna cintanya kepada nusantara ini. Hanya saja, masih terlelapnya Parapat dari tidur panjangnya, telah memiriskan hatinya. “Bercerita Danau Toba adalah bercerita tentang kecintaan saya. Di sini saya lahir dan besar. Sayangnya, geliat potensinya belum juga terangkat. Menurut saya, sisi yang paling besar mendorong daerah pariwisata, haruslah ada bandara dibarengi penginapan yang mumpuni. Pokoknya perangkat-perangkat wisata harus lengkap. Penduduk juga harus semakin mengerti tentang potensi Danau Toba. Tapi saya yakin, waktu yang akan mendewasakan ini semua,” ungkap Tongam yang tidak mematok bayaran jika diundang tampil di acara-acara seremonial di sejumlah daerah, terutama di ranah Batak.
Rupanya bicara materi memancing Tongam untuk terus berkomentar. Katanya, materi bukan menjadi persoalan utama. Bahkan, setelah berkolaborasi dengan Viky sekalipun–walau Viky juga adalah seorang pebisnis musik–tidak kemudian karya-karyanya didasari bayaran. “Saya tak ingin bicara materinya dulu. Kalaupun bersama Viky saya dapat bayaran, itu sah-sah saja. Artinya, karya saya dihargai. Musisi yang dewasa itu juga harus memikirkan kebutuhan untuk diri dan keluarganya. Tapi saya tegaskan, yang paling utama bukan itu, saya akan terus berkarya,” kata Tongam, yang masih harus bolak-balik Parapat-Jakarta untuk urusan bermusik.
Pernikahan dan Pengorbanan Tongam
Semasa muda, Tongam mengaku sebagai laki-laki Play Boy. Ia bahkan menggelari dirinya sebagai Parhallet na utusan. Apalagi, walau cuma tamatan SMA, Tongam mampu berbicara dalam bahasa Inggris yang dipelajarinya secara otodidak dari para bule di Parapat dan di Bali. Serupa seperti ia memainkan alat musik yang juga dipelajari otodidak. Tongam sejatinya adalah seorang perantau. Ia praktis menghabiskan masa mudanya di Pulau Dewata dan Kota Jakarta. Ia berinteraksi dengan berbagai suku dan bangsa di perantauan. “Saya selalu bergaul. Itu menjadi modal berharga bagi orang seperti saya. Jadi jangan heran ketika masih lajang, saya punya banyak teman. Gonta-ganti pacar juga menjadi hal yang biasa bagi saya ketika itu,” aku Tongam blak-blakan.
Perkenalan dengan istrinya, Serevina br Pararibu (24) juga terbilang tak terencana sama sekali. Ketika ibunya meninggal dunia dan jasadnya masih disemayamkan, ia dipertemukan dengan seorang gadis cantik, berkulit putih, baru tamat SMA. Walau sebelumnya ia tak mengenal sama sekali sosok Serevina–karena sebelumnya berada di perantauan–dengan keberaniannya, ia mengajak Serevina menikah. “Saya ajak dia menikah dan dia bersedia. Itu adalah takdir kami berdua dipertemukan bersamaan ketika ibu saya meninggal. Tapi pernikahan itu pula yang menjadikan ibu saya menjadi Saur Sari Matua karena tinggal saya di keluarga yang belum menikah,” kenang Tongam.
Ada yang harus dikorbankan Tongam ketika memilih jalur musik sebagai jalan hidup. Ia harus mengorbankan perasaannya. Curahan kasih sayang kepada istri dan keempat anaknya akan semakin berkurang ketika dia harus bolak-balik Parapat-Jakarta untuk urusan profesi. “Pasti ada yang dikorbankan, terutama keluarga. Sebab, jika saya ke Jakarta bisa sampai satu bulan. Terkadang anak saya bilang saya selalu pergi-pergi saja. Tapi ini adalah masa depan. Semua yang saya lakukan adalah untuk keluarga,” kata lelaki lulusan SMA I Parapat ini.
Kata Tongam, cita-cita yang paling sempurna adalah, ketika keahlian atau hobi bisa menghasilkan uang. Artinya, bekerja dengan kepuasan bathin adalah sebuah cita-cita yang sempurna. “Jika bisa bercita-cita setinggi langit, saya ingin dikenal semua orang yang ada di muka bumi ini seperti orang-orang mengenal seorang Bob Marley, musisi reage legendaris dari benua hitam, Afrika. Bob Marley berkarya berdasarkan kepuasan bathin yang menyatukan cinta dan perdamaian lewat lagu yang diciptakannya,” tukas Tongam Sirait.
Tongam mulai mencipta lagu sejak tahun 1997. Ada 10 lagu ciptaannya di album Nommensen: Mauliate, Ingotma, Si Doli, Mekkel Nama Au, Nommensen, Sugari, Come To Lake Toba, Taringot Au, Beta Hita, dan Tapature. Tongam tinggal di Onan Raja Parapat dan merpersunting Serevina br Pasaribu sebagai istri. Empat orang anaknya diberi nama: Sebita Rapuli (5 tahun), Immanuel (3.5 tahun), Inri (1.5 tahun), dan Raja (4 bulan).
Tongam mempunyai obsesi besar untuk menciptakan sebuah gitar dengan dua gagang yang bisa dimainkan dengan kedua jemari sekaligus. Sebagai ritim pada gitar ciptaannya itu, Tongam akan menggunakan kaki kanan dan kaki kiri. [www.blogberita.com]

1 komentar:

  1. Bang Tongam> teruskan berkarya. semoga abang makin sukses selalu. aku siap mendukungmu..

    BalasHapus